Getaran Di Saat Fajar
#Getaran_di_Saat_Fajar
#Oleh_Fuad_Basya
Part 1
Kubuka mataku yang telah semalaman terpejam, bangun dari mimpi dan pembaringanku. Ditemani sahutan ayam berkokok dan suara merdu lantunan azan dari setiap surau, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk menghirup nafas di pagi ini, di dunia ini.
Selesai mengambil air wudlu, kuayunkan kaki melangkah menuju surau, untuk memenuhi panggilan Sang Mahapencipta.
Terlihat sangat bening dan indah langit yang ditembus fajar menyingsing.
Baru sekitar dua puluh langkah, aku keluar dari rumah dan belum sampai di surau, tiba-tiba terdengar suara.
"Shobahul Khoir." Sapaan salah seorang pejuang subuh dari arah belakangku.
"Shobahun Nur," jawabku sambil membalikkan badan disusul lemparan senyum termanis yang aku punyai.
Dia pun membalas senyumanku dengan lebar dan tampaklah gigi gingsul di sebelah kanan bibirnya.
Langkahku terhenti. Kuamati di bawah cahaya fajar, dan aku pun mengenalinya.
Rupanya dia adalah Zahra--gadis desa pujaan hatiku--nampak terlihat lebih ayu wajah manisnya di pagi hari, yang masih basah oleh air wudlu, berbalut mukena putih membawa sajadah biru yang dikalungkan di leher, berjalan berdampingan bersama Ibunya.
Tak pernah terbesit di benakku, si Zahra lah, orang yang pertama kali menyapaku dan mendapat senyuman pertamaku juga di pagi itu.
"Zahra, Ibu, mau salat subuh berjama'ah di surau, ya ?" Masih dalam keadaan tersenyum, aku bertanya pada Zahra dan Ibunya.
Meskipun sebenarnya aku tahu, kalau mereka hendak salat subuh berjamaah di surau, walau demikian aku tetap menanyakannya, sekedar basa-basi saja.
"Iya, nih. Kamu sendirian saja, Mas? Umi sama Abahnya kemana ?" jawab mereka lanjut bertanya.
"Iya, Bu. Kebetulan Umi sama Abah saya lagi pergi, menghadiri sebuah acara di pesantren adik saya. Lantaran tempatnya jauh, jadi mereka menginap di sana. Lah, Ibu juga cuma berdua saja sama Dik Zahra, Abinya kemana ?"
"Abinya Zahra lagi kurang enak badan, jadi salat subuhnya di rumah saja."
"Oh ... lagi sakit? Semoga lekas sembuh ya, Bu, biar bisa sholat berjamaah bareng di surau."
"Aamiin. Makasih ya, Mas."
"Iya. Sama-sama, Bu."
Sementara Zahra hanya tersenyum dan menundukkan kepala. Sepertinya dia malu.
Kami pun melanjutkan berjalan ke Surau sambil ngobrol tanya-jawab di sepanjang jalan.
Sesampainya di surau kami berpisah, Zahra dan Ibunya masuk ke shof wanita, sementara saya ke shof laki-laki.
Namun sebelum masuk Zahra menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dia berkata, "Mari, Mas."
Aku pun mengangguk dan menyahut, "Mari, Dik."
Tak kusangka fajar waktu itu, adalah fajar paling indah di sepanjang hidupku yang tak akan pernah aku lupakan.
Sejak saat itulah aku dan Zahra sering bertemu ketika hendak salat berjamaah ke surau, saling sapa dan saling lempar senyuman.
Entah mengapa, aku jadi semakin bersemangat untuk pergi ke surau. Mungkin karena Zahra.
***
Sudah lebih satu Minggu, aku tak pernah berjumpa lagi dengan Dik Zahra, di surau maupun di jalan.
Rasa gelisah bercampur dengan rindu, seolah menjadi awan mendung yang menyelimuti hatiku.
Setiap kali pergi untuk sholat berjamaah di surau, aku selalu mencari-cari keberadaan Dik Zahra, tapi tak kunjung jua aku menemuinya.
Hingga pada suatu pagi selepas berjamaah salat subuh, aku bertemu dengan Ibu Fatma--Ibunya Dik Zahra--di teras surau. Tampak dia seperti sedang kebingungan melihat kanan-kiri. Aku pun bergegas menghampirinya dan bertanya,"Ibu, sedang apa? Kok, seperti lagi bingung nyari sesuatu?"
"Oh, Mas Fathir."
(Namaku Achmad Fathir, biasa dipanggil Fathir. Tinggal di Desa Cempaka Kecamatan Bodas Kabupaten Ciamis)
"Iya nih, Ibu lagi nyari sendal Ibu. Perasaan tadi Ibu taruh di sini, tapi kok nggak ada ya?" Jawab Ibu Fatma.
"Hilang ya, Bu sendalnya? ya sudah pakai sendal milik saya saja." Saya mencoba menawarkan sendal saya agar dipakai oleh Ibu Fatma.
Saya berbuat baik
bukan karena Ibu Fatma adalah orang tuanya Zahra atau karena ada maunya, tapi lantaran dorongan hati ingin menolong sesama. Pada siapa pun orangnya.
"Nggak usah, Mas! Ibu tidak apa-apa kok, ntar malah ngerepotin, Mas Fathir lagi!"
"Tidak usah sungkan Bu! Saya sih, sudah biasa jalan tidak pakai alas kaki, dulu waktu masih mondok di Pesantren, juga sering kehilangan sendal dan sering berjalan tanpa alas kaki ."
Ibunya Zahra akhirnya berkenan dan mau memakai sendal milik saya. Kami pun pulang jalan bersama menuju Rumah masing-masing. Di tengah perjalanan, saya memberanikan diri untuk menanyakan kabar Dik Zahra, yang sudah seminggu ini tidak terlihat,"Oh iya, Bu, Zahara kabarnya gimana ya? Kok, sekarang jarang kelihatan?"
"Si Zahra lagi main ke rumah Neneknya, bareng sama Abah, sekalian mau menghadiri acara reunian teman sekelasnya. Zahra kan dulu sekolah SD-nya di kampung Neneknya," jawab Ibu Fatma penuh senyum.
"Oh ... jadi Zahra lagi main ke rumah Neneknya ya? Syukurlah. Kirain dia lagi sakit. "
"Tidak, kok ... Zahra baik-baik saja. Kenapa? Mas Fathir khawatir, ya? Atau jangan-jangan Mas Fathir kangen sama anak semata wayangnya, Ibu ?" Ibu Fatma balik bertanya seraya menggoda.
Zahra memang anak semata wayang Ibu Fatma, dulu dia pernah punya adik laki-laki, tapi meninggal saat masih berusia delapan Bulan.
"Ahh! Ibu bisa saja." Aku tersipu malu lantaran pertanyaan Ibunya Zahra itu.
"Berarti Ibu sendirian saja, di rumahnya?" Saya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Iya, Mas Fathir. Makanya tadi Ibu ke suraunya cuma sendirian. kalau nggak ada Mas Fathir, Ibu mungkin pulangnya juga sendirian dan tidak pakai sendal pula," jawab Ibu Fatma tersenyum.
"Oh, begitu ya? Aah ... Ibu ini," saya ikut tersenyum."
"Jalannya lurus saja yuk, Bu. Mampir dulu ke Rumah Fathir," tawarku pada Ibu Fatma untuk mampir ke Rumah saya, saat sudah hampir tiba di persimpangan jalan.
Jalan menuju Rumah Zahara belok ke kiri, sedangkan akses menuju Rumahku, Jalannya lurus terus.
"Terimakasih, Mas Fathir. Kapan-kapan saja ya, Ibu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaiin," tolaknya halus.
"Ooh. Begitu ya? Ya sudah, Bu, saya pamit ya ... Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Eh, sendalnya Ibu pakai dulu ya. Nanti Ibu kembaliin ke Rumahnya, Mas Fathir."
"Iya, Bu. Gampang."
"Terimakasih, ya."
" Iya, Bu, afwan."
Kami pun berpisah di pertigaan persimpangan jalan. Menuju Rumah masing-masing.
Pertanyaan mengenai Dik Zahra yang selama ini menghantuiku pun, akhirnya terjawab. Dalam hati, aku bertanya-tanya mengapa aku selalu kefikiran Dik Zahra terus ya? Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Benarkah aku jatuh cinta? Seperti inikah yang dinamakan cinta? Mengapa begitu menyiksa saat jauh dari yang dicinta? Ohh, Sudahlah!
.
.
.
.
Bersambung ...
Cerita ini hanya Fiktif yang bermula dari over baper.
#Oleh_Fuad_Basya
Part 1
Kubuka mataku yang telah semalaman terpejam, bangun dari mimpi dan pembaringanku. Ditemani sahutan ayam berkokok dan suara merdu lantunan azan dari setiap surau, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk menghirup nafas di pagi ini, di dunia ini.
Selesai mengambil air wudlu, kuayunkan kaki melangkah menuju surau, untuk memenuhi panggilan Sang Mahapencipta.
Terlihat sangat bening dan indah langit yang ditembus fajar menyingsing.
Baru sekitar dua puluh langkah, aku keluar dari rumah dan belum sampai di surau, tiba-tiba terdengar suara.
"Shobahul Khoir." Sapaan salah seorang pejuang subuh dari arah belakangku.
"Shobahun Nur," jawabku sambil membalikkan badan disusul lemparan senyum termanis yang aku punyai.
Dia pun membalas senyumanku dengan lebar dan tampaklah gigi gingsul di sebelah kanan bibirnya.
Langkahku terhenti. Kuamati di bawah cahaya fajar, dan aku pun mengenalinya.
Rupanya dia adalah Zahra--gadis desa pujaan hatiku--nampak terlihat lebih ayu wajah manisnya di pagi hari, yang masih basah oleh air wudlu, berbalut mukena putih membawa sajadah biru yang dikalungkan di leher, berjalan berdampingan bersama Ibunya.
Tak pernah terbesit di benakku, si Zahra lah, orang yang pertama kali menyapaku dan mendapat senyuman pertamaku juga di pagi itu.
"Zahra, Ibu, mau salat subuh berjama'ah di surau, ya ?" Masih dalam keadaan tersenyum, aku bertanya pada Zahra dan Ibunya.
Meskipun sebenarnya aku tahu, kalau mereka hendak salat subuh berjamaah di surau, walau demikian aku tetap menanyakannya, sekedar basa-basi saja.
"Iya, nih. Kamu sendirian saja, Mas? Umi sama Abahnya kemana ?" jawab mereka lanjut bertanya.
"Iya, Bu. Kebetulan Umi sama Abah saya lagi pergi, menghadiri sebuah acara di pesantren adik saya. Lantaran tempatnya jauh, jadi mereka menginap di sana. Lah, Ibu juga cuma berdua saja sama Dik Zahra, Abinya kemana ?"
"Abinya Zahra lagi kurang enak badan, jadi salat subuhnya di rumah saja."
"Oh ... lagi sakit? Semoga lekas sembuh ya, Bu, biar bisa sholat berjamaah bareng di surau."
"Aamiin. Makasih ya, Mas."
"Iya. Sama-sama, Bu."
Sementara Zahra hanya tersenyum dan menundukkan kepala. Sepertinya dia malu.
Kami pun melanjutkan berjalan ke Surau sambil ngobrol tanya-jawab di sepanjang jalan.
Sesampainya di surau kami berpisah, Zahra dan Ibunya masuk ke shof wanita, sementara saya ke shof laki-laki.
Namun sebelum masuk Zahra menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dia berkata, "Mari, Mas."
Aku pun mengangguk dan menyahut, "Mari, Dik."
Tak kusangka fajar waktu itu, adalah fajar paling indah di sepanjang hidupku yang tak akan pernah aku lupakan.
Sejak saat itulah aku dan Zahra sering bertemu ketika hendak salat berjamaah ke surau, saling sapa dan saling lempar senyuman.
Entah mengapa, aku jadi semakin bersemangat untuk pergi ke surau. Mungkin karena Zahra.
***
Sudah lebih satu Minggu, aku tak pernah berjumpa lagi dengan Dik Zahra, di surau maupun di jalan.
Rasa gelisah bercampur dengan rindu, seolah menjadi awan mendung yang menyelimuti hatiku.
Setiap kali pergi untuk sholat berjamaah di surau, aku selalu mencari-cari keberadaan Dik Zahra, tapi tak kunjung jua aku menemuinya.
Hingga pada suatu pagi selepas berjamaah salat subuh, aku bertemu dengan Ibu Fatma--Ibunya Dik Zahra--di teras surau. Tampak dia seperti sedang kebingungan melihat kanan-kiri. Aku pun bergegas menghampirinya dan bertanya,"Ibu, sedang apa? Kok, seperti lagi bingung nyari sesuatu?"
"Oh, Mas Fathir."
(Namaku Achmad Fathir, biasa dipanggil Fathir. Tinggal di Desa Cempaka Kecamatan Bodas Kabupaten Ciamis)
"Iya nih, Ibu lagi nyari sendal Ibu. Perasaan tadi Ibu taruh di sini, tapi kok nggak ada ya?" Jawab Ibu Fatma.
"Hilang ya, Bu sendalnya? ya sudah pakai sendal milik saya saja." Saya mencoba menawarkan sendal saya agar dipakai oleh Ibu Fatma.
Saya berbuat baik
bukan karena Ibu Fatma adalah orang tuanya Zahra atau karena ada maunya, tapi lantaran dorongan hati ingin menolong sesama. Pada siapa pun orangnya.
"Nggak usah, Mas! Ibu tidak apa-apa kok, ntar malah ngerepotin, Mas Fathir lagi!"
"Tidak usah sungkan Bu! Saya sih, sudah biasa jalan tidak pakai alas kaki, dulu waktu masih mondok di Pesantren, juga sering kehilangan sendal dan sering berjalan tanpa alas kaki ."
Ibunya Zahra akhirnya berkenan dan mau memakai sendal milik saya. Kami pun pulang jalan bersama menuju Rumah masing-masing. Di tengah perjalanan, saya memberanikan diri untuk menanyakan kabar Dik Zahra, yang sudah seminggu ini tidak terlihat,"Oh iya, Bu, Zahara kabarnya gimana ya? Kok, sekarang jarang kelihatan?"
"Si Zahra lagi main ke rumah Neneknya, bareng sama Abah, sekalian mau menghadiri acara reunian teman sekelasnya. Zahra kan dulu sekolah SD-nya di kampung Neneknya," jawab Ibu Fatma penuh senyum.
"Oh ... jadi Zahra lagi main ke rumah Neneknya ya? Syukurlah. Kirain dia lagi sakit. "
"Tidak, kok ... Zahra baik-baik saja. Kenapa? Mas Fathir khawatir, ya? Atau jangan-jangan Mas Fathir kangen sama anak semata wayangnya, Ibu ?" Ibu Fatma balik bertanya seraya menggoda.
Zahra memang anak semata wayang Ibu Fatma, dulu dia pernah punya adik laki-laki, tapi meninggal saat masih berusia delapan Bulan.
"Ahh! Ibu bisa saja." Aku tersipu malu lantaran pertanyaan Ibunya Zahra itu.
"Berarti Ibu sendirian saja, di rumahnya?" Saya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Iya, Mas Fathir. Makanya tadi Ibu ke suraunya cuma sendirian. kalau nggak ada Mas Fathir, Ibu mungkin pulangnya juga sendirian dan tidak pakai sendal pula," jawab Ibu Fatma tersenyum.
"Oh, begitu ya? Aah ... Ibu ini," saya ikut tersenyum."
"Jalannya lurus saja yuk, Bu. Mampir dulu ke Rumah Fathir," tawarku pada Ibu Fatma untuk mampir ke Rumah saya, saat sudah hampir tiba di persimpangan jalan.
Jalan menuju Rumah Zahara belok ke kiri, sedangkan akses menuju Rumahku, Jalannya lurus terus.
"Terimakasih, Mas Fathir. Kapan-kapan saja ya, Ibu masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaiin," tolaknya halus.
"Ooh. Begitu ya? Ya sudah, Bu, saya pamit ya ... Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Eh, sendalnya Ibu pakai dulu ya. Nanti Ibu kembaliin ke Rumahnya, Mas Fathir."
"Iya, Bu. Gampang."
"Terimakasih, ya."
" Iya, Bu, afwan."
Kami pun berpisah di pertigaan persimpangan jalan. Menuju Rumah masing-masing.
Pertanyaan mengenai Dik Zahra yang selama ini menghantuiku pun, akhirnya terjawab. Dalam hati, aku bertanya-tanya mengapa aku selalu kefikiran Dik Zahra terus ya? Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Benarkah aku jatuh cinta? Seperti inikah yang dinamakan cinta? Mengapa begitu menyiksa saat jauh dari yang dicinta? Ohh, Sudahlah!
.
.
.
.
Bersambung ...
Cerita ini hanya Fiktif yang bermula dari over baper.
0 Response to "Getaran Di Saat Fajar"
Post a Comment