Mbah Syaiban
Mbah Syaiban.
Wali Allah atau waliyullah adalah orang-orang yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Allah. Seorang wali setiap saat hatinya senantiasa bergantung pada Allah, sedikit saja lupa pada Penciptanya maka mereka akan merasa melakukan dosa besar.
Sebab itu, para waliyullah tak sedikit pun ada rasa takut atau kekhawatiran terhadap berbagai perkara di muka bumi ini. Sebagaimana firman-Nya:
اَ لَاۤ اِنَّ اَوْلِيَآءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ۚ
"(Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada diri mereka serta tidak pula mereka bersedih hati) Di akhirat nanti."
(Tafsir Jalalain QS. Yunus 10: Ayat 62)
Mereka adalah insan yang telah mencapai dan menempati derajat serta maqom yang agung di sisi Allah.
Level kekasih tentu beda dengan level Manusia umum. Para Wali adalah orang-orang yang dicintai Allah, bila Allah sudah cinta maka apapun yang diminta pasti akan diberikan. Mereka dianugerahi karomah dan keistimewaan yang luar biasa, tentunya sebuah pemberian yang tidak diberikan pada orang awam dan tidak sama pula. Maksudnya karomah setiap wali berbeda-beda.
Makom kekasih bisa diraih dengan dua cara, yaitu; Suluk dan Judzzib.
Imam Syaikh Ibnu 'Atho'illah Assakandary mengemukakan dalam karya monumental beliau, kitab Al-hikam, bahwa wushul ilallah (Sampai menuju ma'rifat pada Allah) ada dua macam; Ada Tadalli/tanazul dan ada yang Taroqqi.
Tadalli atau tanazul ialah ekspresi positif dari Tuhan yang digambarkan seolah-olah Tuhan turun menjemput kekasih-Nya, seperti para Majdzuub dan khoriqul adalah di usia yang belum menginjak dewasa.
Sedangkan taroqqi adalah gambaran relasi hamba pada Tuhannya yang diartikan sebagai perjalanan spiritual seorang hamba dalam upaya mendaki mendekati Robbnya.
****
Mbah Syaiban.
Nama beliau adalah Syaiban (Saja) bukan Al-Habib Abu Bakar bin Asudulloh Basyaiban Hadlromaut, Yaman, karena kata 'Syaiban' beliau bukanlah bentuk alam laqob atau pun marga, melainkan nama asli. Sebagaimana kisah yang kita ketahui dari sejarah laqob (Julukan) "Basyaiban" yang disematkan kepada Al-arif billah Al-habib Abu Bakar bin Asadulloh Basyaiban. Meski ada yang mengatakan adanya keterkaitan di antara keduanya.
.
Di antara guru-guru beliau yaitu, Al'arif billah Sayid Mir'ah bin Lebu, Syaikh Abdulloh bin Abdullah Al bin Hasan Ba'alawi Kanggraksan, Cirebon, Sayid Hamid bin Muhamad bin Mir'at Zein Al bin Hasan Ba'alawi, Mbah Sholeh Indramayu dll.
Tiada yang mengetahui persis silsilah keturunan beliau. Sepertinya memang sengaja disembunyikan, entahlah? Mungkin karena beberapa tujuan yang dirahasiakan.
Namun, dari beberapa sumber menegaskan bahwa beliau berasal dari salah satu desa yang berada di daerah lereng Gunung Slamet di Kabupaten Pemalang, tepatnya di Kecamatan Moga. Ayahanda beliau bernama 'Warniyah'.
Sejak kecil beliau sudah yatim-piatu dan tinggal dengan kakak laki-laki yang mengurusnya. Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak ayal bila kakak beliau harus bekerja peras keringat.
Diceritakan, pada suatu hari Syaiban kecil ikut membantu kakaknya mencangkul sawah milik tetangga dengan tujuan mencari upah, buruh tani. Sedari awal bukannya mengayunkan cangkul untuk mulai menggarap sawah, beliau justru diam berdiri dengan tatapan kosong serta tak melakukan apapun. Kesal dengan tingkah adiknya, lantas sang kakak melempari dengan segenggam tanah, Syaiban kecil terperangah, lari, lalu pergi meninggalkan anak ibunya yang tengah kesal. Sejak saat itu beliau tidak pernah kembali dan itulah awal dari pengembaraan beliau.
Banyak yang mengatakan, sejak masih di usia remaja 'khowariqul 'adah' sudah nampak pada diri Mbah Syaiban.
Diceritakan, kala beliau tengah berkhidmah kepada salah satu gurunya yang sudah masyhur dengan makom kewalian juga, yaitu Mbah Sholeh.
Di desa Lemahayu, Kertasmaya, Indramayu.
Beliau bersama teman karibnya yang bernama, Sanusi atau Mbah Kiai Sanusi (Pondok Pare, Plumbon, Cirebon.) Suatu hari beliau diajak oleh gurunya, yakni Mbah Soleh untuk pergi ke Plumbon, Cirebon. Namun ada yang janggal dengan ajakan gurunya itu yang terkesan aneh.
Beliau disuruh berjalan kaki sembari memanggul beras satu karung penuh yang beratnya kurang lebih 60 sampai 70 kilo. Sementara itu Mbah Sholeh sendiri naik sepeda ontel berboncengan dengan murid yang satunya lagi, Mbah Kiai Sanusi (waktu itu mobil angkutan belum seramai sekarang) Anehnya lagi, lama sebelum guru dan teman karibnya tiba di tempat tujuan, beliau sudah tiba terlebih dulu. Bukan hanya itu saja, beliau sudah sempat menguras bak mandi, menyapu, memasak, dan menyajikan makanan dll.
Melihat itu tentu temannya kaget dan heran, "Kenapa bisa perjalanan yang lumayan cukup jauh (Indramayu-Cirebon) hanya ditempuh dengan berjalan kaki sambil memanggul sekarung beras pula, bisa lebih cepat dibanding dengan perjalanan yang ditempuh dengan mengendarai sepeda serta tak membawa apa-apa?"
"Syaiban kok sudah sampai duluan? Bukankah tadi dia berjalan kaki sambil memanggul beras? Aneh?" gumam Mbah Kiai Sanusi dalam hati.
Dari peristiwa itulah Mbah Kiai Sanusi menyadari bahwa Mbah Syaiban sudah sampai pada makom shohibul karomah (derajat kewalian).
Beberapa orang terdekat Mbah Syaiban mengatakan bahwa Mbah Sholeh memang sengaja melakukan hal tersebut, dengan maksud mengetes dan ingin memberitahukan pada Mbah Sanusi, bahwa Syaiban adalah santri yang sudah sampai pada derajat seorang Waliyullah.
Cerita ini juga sering disampaikan oleh anak ketiga beliau, yaitu kiai Muhammad Zainuddin (yang tak lain adalah paman saya sendiri) ketika memberi sambutan saat peringatan haul beliau yang rutin digelar setiap tahunnya di tanggal 4 Sya'ban.
Kiai Muhammad Zainuddin sendiri selalu menekankan dan mengklarifikasi bahwa dari pihak keluarga sendiri tidak ada yang menyebut bahwa Mbah Syaiban adalah seorang Waliyullah. Justru yang melabeli status Wali ialah Mbah Sholeh yang notabene-nya adalah guru beliau yang sudah terkenal akan maqom kewaliannya.
لا يعرف الولي إلا الولي
"Tidak ada yang mengetahui maqom kewalian seseorang kecuali dia adalah Wali"
**
Saat masih nyantri kepada Mbah Sholeh, kesibukan beliau adalah memasakkan makanan untuk teman-temannya.
"Wis ben, liane kon anteng ngaji, cukup aku wae sing masak. (Biarlah mereka fokus ngaji, cukup saya saja yang masak)," ujar beliau yang diceritakan ulang oleh salah satu temannya yang menjadi saksi hidup sewaktu masih nyantri kepada Mbah Sholeh kepada ibu saya suatu hari. Yang tak lain teman beliau itu adalah ibunda dari, K.H.Muhammad Nawawi Zahidin, pengasuh Pondok-pesantren Ummul Qurro'. Kiai saya sewaktu mesantren di Indramayu.
Masih menurut cerita kawan beliau itu, setelah makanan siap saji, dipanggilah seluruh teman-temannya untuk segera berkumpul dan lekas mengisi perutnya yang kosong.
Beliau sendiri justru memilih menyingkir pergi dan datang bila makanan sudah habis tanpa tersisa sedikitpun makanan untuk dirinya.
Lantas apa yang beliau makan?
Yang beliau makan adalah sisa-sisa makanan yang tak layak untuk dikonsumsi.
K.H Muhammad Nawawi Zahidin sering menuturkan kepada santri-santrinya, bahwa Mbah Syaiban menempuh perjalanan antar provinsi (Kendal-Indramayu) dengan waktu yang sangat singkat, hanya lima menit saja.
"Ki Syaiban atau Mbah Syaiban iku Melaku sing Kendal, Jawa Tengah mung lima menit," tutur beliau.
Entah ilmu apa yang beliau gunakan. Sapu angin atau lipat bumi? Tak ada yang tahu. Namun yang jelas itu adalah karomah Allah yang dikaruniakan kepada beliau.
Beliau kerap kali mengajari dzikir kepada anak-anaknya yang artinya pun kami tidak tahu. Beliau mengatakan, "Saat bepergian bacalah 'Hallin' sebanyak mungkin."
Seseorang yang sudah mencapai alam Malakut dan tidak condong pada nafsunya, maka jasadnya akan mengikuti ruhnya.
***
Salah satu kisah yang sudah musyhur pula adalah, bahwa Mbah Syaiban pernah wafat di Plumbon Cirebon dan dimakamkan di sana.
Yang mentalqin saat prosesi pemakaman Mbah Syaiban adalah. K.H. Mudlo'af dari Batang. Setelah beberapa waktu, K.H. Mudlo'af mendapat kabar bahwa Mbah Syaiban masih hidup dan saat ini berada di Daerah Jlamprang, Batang, Jawa Tengah.
Merasa menjadi saksi hidup atas kewafatan Mbah Syaiban bahkan telah mentalqinnya, K.H. Mudlo'af tak percaya begitu saja dengan kabar yang didengarnya itu. Namun, semacam percaya tak percaya, hal seperti itu bisa saja terjadi pada sosok Mbah Syaiban.
Lantas K.H. Mudlo'af mencari tahu akan keberadaan Mbah Syaiban. Singkat cerita dikatakan bahwa Mbah Syaiban sedang berada di rumah Pak Haji Abdul Majid Jlamprang, Batang. K.H. Mudlo'af pun pergi ke kediaman Haji Abdul Majid untuk memastikan kabar yang didengarnya.
Setiba di sana, beliau mendapat info valid, iya, Mbah Syaiban masih hidup. Tapi, sayang, Mbah Syaiban sudah pergi lagi dan katanya hendak menemui Haji Abu Khoir, K.H. Mudlo'af langsung pergi ke rumah Haji Abu Khoir dan saat tiba di sana hasilnya sama, Mbah Syaiban sudah pergi lagi. Katanya Mbah Syaiban hendak menemui Haji Sofyan, K. H. Mudlo'af lalu mendatangi rumah Haji Abu Sofyan dan Haji Abu Sofyan mengatakan hal yang sama pula bahwa Mbah Syaiban baru saja pergi, hendak ke rumah Haji Abdul Malik, K.H. Mudlo'af juga mendatangi Haji Abdul Malik. Namun, Mbah Syaiban sudah pergi lagi.
Seperti tak kenal lelah, K.H. Mudlo'af Terus mencari Mbah Syaiban sampai lebih dua bulan lamanya dan singkat kisah akhirnya beliau berjumpa dengan Mbah Syaiban.
Terbelalak matanya terkagum-kagum. Didapatinya Mbah Syaiban masih segar bugar, padahal yang dulu mentalqinnya adalah beliau sendiri. K.H. Menangis tersungkur di pangkuan Mbah Syaiban dan menceritakan kisah perjalanannya.
.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَا تٌ ۗ بَلْ اَحْيَآءٌ وَّلٰـكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ
"Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 154)
له الفاتحة
0 Response to "Mbah Syaiban"
Post a Comment