Syaikhuna K.H. Tamam Kamali.
Oleh : Nur Fuad Assyaiban.
Al-maghfurlah K.H. Tamam Kamali.
Oleh Nur Fuad As-syaiban.
Pagi itu, kuayunkan kakiku dua kali lebih cepat dari biasanya, melangkah dari pondok menuju ke Madrasah(MHS)
Dengan berjalan setengah lari, karena sadar bahwa aku sudah terlambat untuk masuk kelas.
Saat di tengah perjalanan, tepatnya di pertigaan jalan depan MQHS. Aku berpapasan dengan sosok laki-laki tua berwibawa yang mengenakan sarung, baju koko, dan peci putih sedang berjalan dengan bantuan tongkat di tangan kanannya. Berjalan sedikit demi sedikit dengan sangat hati-hati.
Ya, sosok laki-laki tua berwibawa itu adalah, Almaghfurlah K.H. Taman Kamali, pengasuh Pondok-pesantren Al-kamaliyah dan Madrasah Qur'an Alhikamus Salafiyah(MQHS.) Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Kami (Para Santri) Biasa memanggil beliau dengan sebutan "Mama Tamam." Lantaran anak-anak beliau memanggil dengan sapaan itu.
(Orang Cirebon biasa memanggil Ayahnya dengan sebutan 'Mama').
Tak tega menyaksikan beliau berjalan sendirian seperti itu, aku yang semula buru-buru berangkat ke Madrasah, bergegas menghampiri beliau dengan berjalan menunduk dan langsung meraih tangan kiri beliau lalu menutunnya.
"Punten, Ma. Bade pundi?"
"Punten, Ma mau kemana, Ma?" Tanyaku dengan penuh ta'dzim.
Kala itu. Setau saya, beliau baru saja sembuh dari sakit lumpuh yang dideritanya dan masih dalam tahap penyembuhan, maka tak ayal bila beliau tampak susah untuk melampah(Krama; berjalan)
.
"Iku, arep mono, Cung....Wis, Cung beli usah dituntun maning!."
"Itu, mau kesitu, Nak. Udah, Nak tidak usah dituntun lagi," Jawab beliau santun.
"Enggih"
"Iya. "
Aku hanya menjawabnya saja. Namun, mengabaikan perintah beliau. Sungguh sangat su'ul adab nian bila aku tega membiarkan beliau melampah sendirian dalam keadaan seperti itu, bagaimana jika beliau tersandung lalu terjatuh? Sedang untuk melampah saja beliau masih kesulitan. Tiada satu santri pun yang akan membiarkan hal buruk itu terjadi.
"Lagi olahraga, Cung bari sehat."
"Sedang olahraga, Nak biar sehat."
Sambung beliau yang hanya aku jawab dengan kata "Enggih/Iya." sembari mengangkukkan kepala.
.
Mungkin beliau rindu dengan suasana pondoknya dan sekadar untuk melihat-lihat sembari belajar melampah lagi setelah beberapa bulan tidak bisa melampah dan hanya berdiam di rumah saja.
Setapak demi setapak beliau melampah dengan sangat hati-hati. Meski awalnya beliau menolak untuk kutuntun. Namun, akhirnya beliau membiarkan tangan kiriku memegangi tangan kirinya dan tangan kananku menyanggah punggungnya.
Beliau, Almaghfurlah K.H. Taman Kamali kemudian menanyaiku.
"Santri ndi, Cung?"
"Santri mana, Nak?"
"Santri PMA, Ma."
"Oh.. Santrie Kang Makhtum ta?"
"Oh.. Santrinya kang Makhtum ya?"
(Kang Makhtum atau K.H. Makhtum Hannan adalah Kiaiku yang notabene adalah kakak ipar daripada K.H. Tamam Kamali.)
"Enggih, Ma"
"Iya, Ma "
Jawabku lirih.
.
Saat kutuntun melampah, sesekali beliau berhenti, untuk menengadahkan kepalanya dan melihat ke arah kanan-kiri.
Di moment itulah beliau memberikan beberapa nasihat kepadaku lewat lisannya dengan suara yang sangat khas.
"Cung, Kita iku Manungsa kudu nyadong ning Gusti Allah. Artine kita kudu njaluk, kudu ndonga ning Gusti Allah. Sebab ayate wis jelash _Ud 'uuni astajib lakum_ . Kita Menungsa dikongkon njaluk, aja meneng bae!"
"Nak, kita ini Manusia harus mengemis pada Allah. Artinya kita harus meminta, harus berdo'a pada Allah. Sebab ayat qur'annya sudah jelas _Ud'uunii Astajib lakum_ . Kita Manusia disuruh meminta jangan diam saja! " Tutur beliau penuh yakin.
Meski beliau sudah lanjut usia. Tapi, beliau masih sangat fasih ketika membacakan ayat Al-quran yang tadi beliau bacakan itu.
"Enggih, Ma"
"Iya, Ma."
Jawabku mengiyakan.
"Sira ning ndi umahe, Cung?"
"Kamu rumahnya di mana, Nak?"
"Kulo Kendal Jowo Tengah, Ma"
"Saya Kendal Jawa Tengah, Ma."
"Kendal... Mbengen ana santri sing Pemalang, santrie Kang Makhtum. Arane *****. Sekien wis dadi alumni. Kenal beli,Cung"
"Kendal..... Dulu ada Santri dari Pemalang, Santrinya Kang Makhtum. Namanya *****. Sekarang sudah jadi alumni. Kenal tidak, Nak? "
"Nggih, Ma. Sumerep."
" Iya, Ma. Tau"
Sebenarnya aku tidak terlalu kenal dengan sosok alumni yang beliau sebut tadi, hanya saja aku tau siapa orang yang beliau maksud itu dan juga pernah beberapa kali jumpa dengannya.
"Wingi ntes umroh, pas ning Mekah dedonga nyambat arane kula, Tamam. Nah, terus pas lagi ndonga, deweke ngangkat tangan. Temu-temu ana wong sing ngupai roti ning tangane, wong sing ngupai roti kun kuh langsung ilang, mbuh mendie ngilange digelati mendi-mendi ora ketemu, laka. Lan roti kuen e luh, Cung . Laka ning pabrike. Dicocok aken bari roti ng daerah kono kuh langka, ora ana kang cocok mereke, dadi roti kun mung ana siji-sijie. Ya mbuh sing Malaikat ta sapa?."
"Kemarin habis umroh, pas di Makkah dia berdo'a bertawassul dengan namaku, Tamam. Nah, terus pas sedang berdo'a dia mengangkat tangannya, tiba-tiba ada orang yang ngasih roti di tangannya, orang yang ngasih roti tadi itu langsung menghilang. Entah ke mana hilangnya dicari ke mana-mana tidak ketemu. Nggak ada. Dan roti yang tadi itu tidak ada di pabriknya,
dicocokkan dengan seluruh roti di daerah itu, tidak ada. Tidak ada yang cocok merekya, jadi roti itu cuma satu-satunya. Ya entah dari Malaikat atau siapa?"
Mendengar cerita beliau, aku hanya terdiam kagum.
"Nah. Terus deweke sowan ning kula, Cung. Terus nyeritaaken pengalamane pas lagi umroh mau. "
"Nah, lalu setelah pulang dari umroh, dia sowan ke padaku. Menceritakan pengalamannya sewaktu umroh tadi." sambung beliau.
Sedari tadi aku hanya memperhatikan ucapan beliau dan cuma menjawab,"Nggih".
"Tafsirane kula,Cung. InsyaAllah uripe ora bakal kurang sandang pangane, bakale kecukupan terus."
.
"Tafsiranku, Nak. InsyaAllah hidupnya tidak akan kekurangan, akan kecukupan terus."
Dalam hati, aku berharap supaya bisa mengalami hal serupa dengan sosok yang diceritakan beliau tadi, meski tak mungkin.
.
Setelah beberapa saat, datanglah salah seorang santri beliau yang kemudian menghampiri dan hendak menuntun beliau, entah siapa namanya aku tidak tahu, sefahamku dia yang biasa menuntun beliau melampah.
.
"Yawis, cung mbokatan arep kegiatan maning, los!"
"Yasudah, Nak barangkali mau lanjut kegiatanmu lagi, silahkan!" Perintah beliau.
Aku pun menjawab "Nggih, nyuwun pandongane, Ma."
"Iya, minta do'anya, Ma"
Sembari bersalaman dan mengecup tangan keriput tapi halus beliau.
.
Akupun berlalu melanjutkan tujuanku ke Madrasah dengan hati senang gembira.
Bagi seorang Santri sepertiku, dapat mengecup tangan dan dido'akan oleh Kiai adalah merupakan suatu hal yang amat istimewa.
.
Kira-kira seperti itulah yang beliau katakan kepadaku di pagi itu.
Dari kejadian itu, aku banyak mengambil hikmah dan pelajaran yang sangat besar. Dan dari kejadian itu pula aku jadi tahu bahwa, bertawasul kepada Allah melalui orang alim adalah hal yang penting.
.
Kini telah genap satu tahun beliau berpulang ke pangkuanNya dengan tenang dan tentram. Semoga Allah SWT. Merahmatinya, menempatkan beliau dalam ridloNya dan semoga kita bisa menindak lampahi jejak beliau. Amiin.
اللهم اغفرله وارحمه وعافه واعف عنه واجعل الجنة مثواه آمين يا رب العالمين.
0 Response to "Syaikhuna K.H. Tamam Kamali."
Post a Comment