Cerbung - Rekayasa Hati Di Balik Puing Rindu-

 Rekayasa Hati Di Balik Puing Rindu


Oleh: Nur Fuad As-syaiban.






#Bagian 1


Air mata mendung telah menetes, memecah tangis dalam isak. 

Bersama kilat petir

Tersedu-sedu. Meluap rindu nan terhalang oleh kemarau. 


Di suatu hari yang bernama Jum'at Sore itu, aku bersama hujan ucapkan; "Selamat tinggal!", untuk sebuah harapan. Harapan yang sedikit lagi hampir aku raih. Namun, lepas dan pergi menjauh.


Sengaja aku biarkan berbasah diri, agar risau ini luntur oleh anak mendung.

Tak peduli jika demam akan bertamu, yang pasti air hujan tak mengajak lara.


Sambil duduk memeluk kedua lulut dan menegakkan betis, kutatap awan hitam yang menurunkan hujan itu. Kukatakan kepadanya "Mengapa kau begitu bersahaja dengan suasana murungku?".


-Aku seorang Remaja berusia 23 Tahun. Di KTP-ku. Namaku tertulis "Afnan Faruq"



Sudah hampir satu jam aku termangu-mangu di bawah langit, menikmati tetes demi tetes air hujan yang menjatuhi sekujur tubuh. Hujan pun enggan berlalu, seolah mengerti daku yang tengah pilu.


Aku tak sendirian, karena aku ditemani oleh hujan dan pohon   cengkeh yang selalu setia mendengar curhatku.

.


Tiba-tiba sebuah telapak tangan menepuk pundakku dari arah belakang dengan begitu pelan, menyadarkan aku dari lamunan kosong, terasa olehku sentuhan lembut cinta pemilik tangan itu. Serasa, aku mengenal sentuhan ini?!


Aku menoleh ke belakang untuk memastikan siapakah orang yang menepuk pundakku dari arah belakang itu.


"Nak, ayo pulang! Ibuk sudah sajikan sup hangat kesukaanmu."


Dan firasatku pun benar! Yang menepuk pundakku, dia adalah, ibuku. Seorangh Manusia yang paling aku anggap sangat berarti dalam hidup ini. Bukan, dia bukan Manusia melainkan dia adalah, seorang Malaikat. 


"Ibuk!?  Ibuk, kenapa datang kesini? Terus kenapa Ibuk tidak bawa payung ?"

Tanyaku dengan rasa penasaran sekaligus khawatir akan kesehatannya.


"Ibuk mau jemput kamu pulang, Nak!  Sudah lebih dari satu jam hujan turun. Ibu sengaja tidak bawa payung, karena ibuk tau kamu pasti lagi hujan-hujanan" 


Memang hanya Ibu seorang lah yang selalu mengerti diriku dan manamungkin  Ibu tega memakai payung untuk melindungi diri dari derasnya hujan,  sedangkan buah hati semata wayangnya basah kehujanan. Sepertinya Ibu ingin merasakan apa yang aku rasakan. 


"Kok ibuk tau aku ada di sini?"  Tanyaku.


"Ibuk sangat khawatir, Nak. Takut kamu kenapa-napa. Ibuk sangat tau kamu, kalau lagi galau kamu pasti datang ke tempat ini,"


Ya. Dulu, sepuluh tahun lalu semenjak Ayahku beristirahat panjang di balik tanah, setiap hari aku kerap datang ke sini, sekadar menghabiskan waktu untuk menenangkan rindu. Di sebuah bukit kecil dengan pohon-pohon cengkeh yang panoramanya menawarkan ketenangan. 


Tempat pelepas penatku ini adalah milik Alm. Ayah, meski pun tidak semuanya, hanya beberapa bidang tanah saja, sekitar 20 meter persegi mengelilingi tanah yang aku duduki ini. Sedangkan selebihnya punya tetangga .


Semasa hidup, Ayah sering mengajakku ke tempat ini, saat beliau hendak mencangkul atau mencari rumput untuk makanan dua ekor kambing di rumah.


 Sementara Ayah melakukan pekerjaannya, aku asyik bermain sendiri, berglayutan di pohon cengkeh yang batangnya besar dan tidak terlalu tinggi, kadang sesekali mengampiri Ayah untuk memberikan air minum. 

.


Saat dirasa capek dan lapar, Ayah menghentikan pekerjaannya dan datang ke bawah pohon tempat aku bermain, guna menyantap bekal dalam tiga susunan rantang yang berisikan; nasi, semur jengkol, dan ikan teri. Kami makan bersama dengan lahapnya di bawah pohon, beralaskan kain batik warna biru colkat bekas selendang Ibu.


Ayah suka menggodaku dengan mengatakan;" Nggak ikut bantuin kerja, kok ikut makan?" Aku tak menghiraukan celotehan Ayah itu, paling biasanya aku cuma jawab; "Biarin!"

.


Dua minggu sebelum kepergiannya, Ayah sudah tak pernah lagi pergi ke bukit, Ayah sakit akibat gula darahnya naik dan penyakit asmanya kambuh. Beliau  dibawa ke Rumah Sakit  Umum Dr. H.Soewondo, JL Laut, No 21 Rejosari Kendal

Kendal, Jawa Tengah,


Kata Dokter, Ayah harus opname selama paling tidak sembilan hari guna menjalani pengobatan dan mendapat perawatan yang intensif. Namun, Ia menolaknya dan hanya menginap dua malam di Rumah Sakit. Semua karena alasan biaya, Ayah lebih memilih proses penyembuhan oleh waktu saja, di rumah dengan obat serta perawatan seadanya. 


Ibu terpaksa menjual dua ekor kambingnya untuk biaya berobat Ayah ini.


.

Usia Manusia adalah takdir Yang Maha Kuasa, jika Dia telah memutuskan takdir hambaNya maka, tak seorang pun dapat mengelaknya. Sekali pun seorang dokter ahli sedunia.

 

Ayahku menghembuskan nafas terakhirnya di sore Jum'at di atas pembaringan. Sebelum pergi, Ayah sempat berpesan pada Ibu," Jaga Afnan baik-baik, dukung terus apa yang ia cita-citakan. Jadikan anak semata wayang kita anak yang solih!" Seolah, Ayah sudah tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.

 

Ibu tak dapat berucap untuk menjawab washiyat Ayah itu, Ibu hanya mengangkuk. Tangis dan derai air matanya  menyampaikan pesan bahwa ia Tak sanggup ditinggal pergi oleh seorang Suami serta Bapak dari anaknya. 


Saat nafas ayah tersendak-sendak, Ibu bergegas mendekatkan bibirnya di telinga kanan ayah, membisikkan kalimat thoyyibah dengan suara serak karena isak tangis. Itulah saat-saat Naza' Ayah menjelang kematiannya.


 Dengan terbata-bata Ayah mengikuti talqin Ibu. Lalu perlahan-lahan tubuhnya mulai mendingin dan kaku, kempas-kempis dadanya sudah tak terlihat lagi. Berkali-kali ibu memeriksa denyut nadinya dan mendekatkan jarinya di hidung Ayah. Namun ibu tak menemukan tanda kehidupan... Dan.....


 "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun" 


Sang pencabut nyawa, Izroil telah menjemput Ayah di sore itu. 

Tangis Ibu pun meledak, ia menjerit "Ayaaaaaah!!" Seperti tak percaya dan tak rela bila Ayah harus meninggalkan kami untuk selama-lamanya.


Aku hanya terdiam, berdiri di depan pintu kamar sembari menahan  bulir air bening yang memaksa untuk keluar dari kedua mata. Ayah selalu mengajarkanku agar aku menjadi laki-laki yang tegar,"Jadi laki-laki itu harus tegar, Nak! Jangan cengeng!" Namun, seberapa pun tegarnya diriku, aku tak mampu dan tak kuasa menahan tangis. Aku pun berlari menghampiri ayah lalu memeluknya menyandarkan kepalaku di dada bidang Ayah yang telah menjadi jenazah. 


Aku menangis sejadi-jadinya. Melihat aku menangis kencang, ibu lebih tak tega dan menyudahi tangisnya itu. Dia mengelus kepalaku seraya mengatakan "Yang sabar ya, Nak! Ini cobaan dari Allah. Kamu harus kuat anakku!".


Meski berat. Namun, harus kuterima kenyataan bahwa, kini aku adalah seorang anak yatim. Hari-hariku akan terasa hampa tanpa kehadiran sosok pahlawan keluarga.


Bila aku merindukan Ayah, kudatangi bukit ini. Sejenak merenungi arti sebuah kehidupan tentang menerima keputusan Tuhan. 


Sampai saat ini pun, bayangan Ayah masih sering muncul dalam khayalku. Aku melihat Ayah melambaikan tangan kepadaku dengan senyuman yang khas di wajahnya...


.


"Maafin Afnan, 'Buk! Sudah buat Ibuk khawatir, sampai-sampai ibuk hujan-hujanan begini demi nyariin Afnan!"


Kulepaskan pelukan lututku dan bangkit meraih tangan ibu untuk kucium. 


Sedari tadi aku menangis tapi, aku sembunyikan tangisku itu di sebalik hujan. Agar tiada satupun orang yang tahu. Aku seorang laki-laki, seperti kata Ayah, aku harus tegar!

Tapi, rupanya aku belum cukup profesional untuk berpura-pura tegar di depan ibuku. Ibu tahu kalau aku sedang menangis, lantas dia mengusap pipiku dengan tangannya dan mendekapku erat. Ia katakan,"Kamu harus kuat, Nak! "


"Selama ada Ibuk, Afnan selalu kuat kok, Buk. Ibuk jangan khawatir!"


"Yasudah, Nak. Ayo kita pulang, nanti supnya keburu dingin"


"Buk, resepsi pernikahannya Sabtu esok kan? Menurut Ibuk, Afnan datang nggak?"


"Iya.... itu terserah kamu saja, Nak. Kalau kamu mau, datanglah. Kalau tak kuat, tak mengapa. Ibuk selalu dukung keputusan kamu selagi itu baik"


"Makasih, Buk. Ibuk memang Ibu terbaik di seluruh Dunia"

.

kami pun terus pulang ke rumah untuk mandi, gantian pakaian lalu kemudian menyantap sup hangat buatan  Ibu. 


Rontaku-wordpres.com


.

Ibu juga akan mempersiapkan buat jualan besok, sedangkan aku harus memprsiapkan hati yang kuat untuk menghadiri acara pernikahan, besok.



Bersambung....

0 Response to "Cerbung - Rekayasa Hati Di Balik Puing Rindu-"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel