KAROMAH MBAH SYAIBAN
Cincin Keramat & Hidup Kembali.
Kisah ini dialami oleh Mbah Mastur dari Wonodadi, Plantungan, Kendal. Mbah Mastur adalah salah satu jemaat dari Mbah Syaiban. Sebelum Mbah Syaiban wafat, beliau pernah memberikan sebuah cincin hikmah kepada Mbah Mastur.
Mengerti bahwa cincin itu adalah pemberian Mbah Syaiban, sudah pasti terdapat kekuatan supernatural di dalamnya. Maka, kerabat Mbah Mastur (saudara atau paman) pernah iseng meminjam cincin tersebut lalu memakaikannya pada seekor ayam. Benar saja, ayam yang dipakaikan cincin pemberian dari Mbah Syaiban tidak bisa mati meski sudah dihajar dengan batu besar. Bahkan, ayam tersebut sampai meninggalkan bekas lubang di tanah akibat ditimpa batu besar.
Singkat cerita, di suatu sore Mbah Mastur pergi ke sawah guna menengok tanaman padi miliknya. Sampai masuklah waktu Maghrib dan Mbah Mastur bergegas mengambil air wudlu di aliran air di pinggir sawah. Namun nahas, saat sedang berwudlu, cincin pemberian Mbah Syaiban yang dipakainya malah terjatuh. Mbah Mastur lantas mencarinya sebisa mungkin. Beliau sangat tidak ingin jika cincin tersebut sampai hilang. Baginya, cincin itu sangatlah berharga sebab merupakan warisan dari Mbah Syaiban.
Karena sudah mulai gelap, beliau memutuskan untuk pulang ke rumah untuk mengambil senter lalu melanjutkan pencarian.
Saat di tengah jalan, beliau berpapasan dengan Mbah Syaiban. Padahal, Mbah Syaiban kala itu sudah lama wafat. Namun, rupanya Mbah Mastur dibuat tidak sadar bahwa Mbah Syaiban sebenarnya sudah tiada, meskipun beliau sangat tahu itu sebelumnya.
Saat mereka berpapasan, Mbah Syaiban berkata, "Sampun, Pak De, mboten usah dipadosi. Sampean wangsul mawon, sembayang Maghrib! (sudah, Pak De, jangan dicari! Kamu pulang saja, sholat Maghrib!)"
Mbah Mastur menyahut, "Enggih, Mbah Yai (iya, Mbah Yai)."
Mereka pun berlalu. Setelah sekitar sepuluh langkah, barulah Mbah Mastur sadar jika sebenarnya Mbah Syaiban sudah lama meninggal. Bergegas beliau menoleh ke belakang untuk memastikan kembali bahwa yang dijumpainya barusan itu adalah Mbah Syaiban. Namun, Mbah Syaiban sudah tak terlihat lagi, menghilang entah ke mana.
Kisah serupa juga terjadi saat di mana Mbah Syaiban meninggal bertetepatan malam Selasa wage, 4 Sya'ban 1408 Hijriyah. Setelah jenazah beliau usai dimandikan dan tetangga membaca surat yasin, Mbah Syaiban malah didapati sedang membuat api unggun (genen/red:jawa) bersama salah seorang warga di desa sebelah, yaitu Desa Tambakroto, Sukorejo, Kendal.
Keesokan harinya, saat Mbah Syaiban tengah dikebumikan, seorang Kiai sepuh dari Parakan, Temanggung yang bernama "Mbah Yai Muhaiminan" berjumpa dengan Mbah Syaiban di mobil bus. Beliau yang (mungkin) hendak ke Kaliwungu itu bertanya kepada Mbah Syaiban, "Bade teng pundi, Mbah Yai? (mau ke mana, Mbah Yai?)"
Mbah Syaiban menjawab, "Bade teng Pasurusan (mau ke Pasuruan)."
Keesokan harinya, Mbah Yai Muhaiminan bertemu dengan Pak Jami'an, Kambang, Plantungan, Kendal. Beliau bertanya, "Saking pundi, Pak Jami'an? (dari mana, Pak Jami'an?)"
Pak Jami'an menjawab bahwa beliau habis men-takziyahi Mbah Syaiban yang baru meninggal kemarin. Mbah Yai Muhaiminan pun kaget lantaran baru saja kemarin siang bersua dengan Mbah Syaiban dengan tubuh segar bugar. Namun, ternyata di desanya beliau sudah meninggal.
Satu kisah serupa datang dari jemaat Mbah Syaiban yang bernama "Pak Samri" dari Selokaton, Sukorejo, Kendal. Pak Samri punya seorang anak laki-laki yang mengaku bertemu bahkan sempat bersalaman dengan Mbah Syaiban di hutan Sedengok, Gepor Dukuh, Sukorejo, Kendal. Pak Samri memberitahu pada anaknya bahwa Mbah Syaiban sudah dua tahun meninggal.
Hal semacam itu juga dialami oleh Mbok Rondo dari Widok Daren, Pemalang yang duduk bersama Mbah Syaiban di atas bendi (dokar).
Saat itu Mbok Rondo hendak pergi ke suatu tempat sedangkan Mbah Syaiban hendak ke Desa Sumur Munding, Pemalang. Dikatakan bahwa, Mbok Rondo bertujuan mencari Ayah baru buat anaknya. Iya, Mbok Rondo ingin menikah lagi.
Selama di perjalanan, Mbok Rondo banyak berbincang-bincang dengan Mbah Syaiban tanpa menyadari bahwa Mbah Syaiban sudah lama meninggal.
Setelah sampai tujuan, Mbok Rondo pun turun dan Mbah Syaiban mengucapkan kalimat perpisahan. Beliau mengatakan, "Selamat tinggal jalan, Mbok!"
Entah maksudnya apa. Kalimat tersebut sering kali diucapkan beliau saat berpisah dengan orang lain, sehingga kalimat itu menjadi ciri khas beliau.
Sesaat setelah turun dari bendi, barulah Mbok Rondo sadar jika Mbah Syaiban telah lama meninggal. Namun, Mbah Syaiban dan bendi yang dinaikinya sudah tak terlihat lagi.
Selang beberapa waktu kemudian, Mbok Rondo pun dipinang oleh seorang laki-laki lalu menikah.
والله أعلم بالصواب
Penulis: Nur Fuad
Editor: Farchah Fatimatuz Zuhro'
Narasumber : Siti Jariyah Syaiban & Ahmad Atid Syaiban.
0 Response to "KAROMAH MBAH SYAIBAN"
Post a Comment