Hukum Anak Silang Manusia dengan Hewan
Hukum Anak Silang Manusia dengan Hewan
Pertanyaan:
Dalam cerita legenda dikisahkan ada seekor anjing yang mengawini Manusia lalu mempunyai anak berupa Manusia.
Lalu apakah anak tersebut wajib menjalankan syariat dan apakah dihukumi suci?
Jawaban:
Dihukumi suci dan wajib menjalankan syariat selagi dia berakal.
Rincian:
1. Apabila peranakan hasil antara mugholadzoh dan Manusia:
a. Jika berwujud Manusia meski hanya bagian atasnya saja dan dia berakal serta dapat berbicara, maka dihukumi suci dan wajib menjalankan syari'at Islam.
b. Jika berwujud hewan mugholadzoh, berakal dan bisa berbicara, dia dihukumi najis, namun dalam hal wajib menjalankan syariat terdapat khilaf:
- Menurut Ibnu Qosim, tidak wajib.
- Menurut Al-qolyubi, wajib.
2. Apabila hasil antara Mugholadzoh dan hewan yang suci, maka dihukumi najis yang dima'fu.
3. Apabila hasil antara Manusia dan Manusia, maka dihukumi suci secara mutlaq, meski berwujud anjing dan wajib menjalankan syariat apabila berakal.
4. Apabila hasil antara kambing dan kambing yang berwujud Manusia, maka dia wajib menjalankan syariat dan boleh dijadikan kurban di hari raya idul adha.
Referensi:
Fath Al-mu'in:
Beliau juga berkata, "Apabila anjing atau babi mengawini Manusia, kemudian melahirkan anak berwujud Manusia pula, maka anak tersebut najis, bersertaan dengan itu dia terkena beban taklif, berupa sholat dan yang lainnya.
Yang jelas hukumnya dima'fu untuk sesuatu yang mengharuskannya untuk menyentuhnya.
Dan boleh menjadi imam sholat, sebab baginya tidak kewajiban mengulangi sholat dan boleh juga masuk masjid sekiranya tidak basah untuk melakukan sholat jamaah atau hal lainnya.
I'anah Ath-tholibin:
Keterangan dalam kitab hasyiyah Al-kurdi: Imam Ar-romli berfatwa akan kesuciannya sekiranya berupa wujud Manusia, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnu Qosim Al-ibafi dalam dua kitab hasyiyah al-minhaj.
Apabila berwujud anjing, Imam Ibnu Qosim Al-ibadi berkata dalam hawasyai attuhfa, "Seyogyanya najis, namun tidak terkena beban taklif, meski bisa berbicara, tamyiz dan mencapai masa balighnya Manusia, dikarenakan dia berwujud anjing, dan keasliannya tidak ada unsur Manusia."
Semua ketetapan itu adalah: apabila anjing atau babi mengawini Manusia atau sebaliknya (Manusia mengawini anjing atau babi).
Apabila hewan yang halal dimakan mengawini hewan yang halal dimakan pula lalu melahirkan anak berwujud Manusia, maka anak tersebut suci dan halal dimakan.
Meski dia hafal alquran, menjadi khotib, lalu mengimami sholat Idul Adlha kita, setelah itu semua dia boleh dijadikan kurban.
Ini dijadikan ilghoz (teka-teki), maka dikatakan, "Kami punya seorang khotib yang mengimami sholat al-idul akbar (idul adha/raya agung/besar) dan kami lalu menjadikannya kurban.
(Qouluhu: wa ma'a dzalikl) maksudnya bersertaan keadaannya najis.
Wa qouluhu: wa ghoiruha, yakni ibadah lain selain sholat.
Hasyiyah Al-bajuri, Halaman 202-203:
Anak hasil hubungan gelap antara anjing dan Manusia, apabila berwujud anjing, maka hukumnya najis.
Jika berwujud Manusia, maka hukumnya suci menurut Imam Ar-romli dan dihukumi najis yang dima'fu menurut Imam Ibnu Hajar.
Maka dia sholat dan bahkan menjadi imam sholat, masuk masjid dan bergaul dengan orang-orang, dia tidak menajiskan orang lain meski saat basah tidak pula menajiskan air yang sedikit atau benda cair apapun.
Dan menjadi wali perwalian seperti hukum dan wali nikah. Dalam hal ini Syaikh Al-khotib berbeda pendapat, bagi Manusia tersebut etap dihukumi najis dalam pernikahan, selir dan sesembelihan serta waris.
Adapun anak yang terlahir dari anjing dan anjing (sesama anjing melahirkan anak berwujud Manusia) dihukumi najis meski berwujud Manusia.
Sedangkan anak yang terlahir dari Manusia dan Manusia hukumnya suci, meski berwujud anjing. Lalu apabila dia bisa berbicara dab berakal apakah dibebani taklif?
Sebagian ulama berpendapat bahwa dia terbebani taklif letak taklif berada pada akal, sedangkan akal tersebut ada padanya, demikian pula anak dari kambing dan kambing yang berwujud Manusia, jika dia bisa berbicara dan berakal dan boleh menyembelih serta memakannya meski pun dia menjadi seorang khotin dan imam sholat. Maka dari itu dikatakan: kami punya khotib dan imam yang bisa disembelih dan dimakan, sebagaimana keterangan dalam risalah al-baromi.
Kasyifatussaja, halaman 40-41:
Apabila seorang anak terlahir dari hubungan antara mugholadzoh (babi/,anjing) dengan Manusia dan berwujud Manusia walau hanya sebagian yang atasnya saja tidak dengan bagian bawahnya (setengah babi/anjing dan setengahnya lagi Manusia)
Anak tersebut dihukumi suci dalam beribadah berdasarkan kemutlakan ulama yang menghukumi sucinya Manusia. Di sisi lain bagi si anak tersebut berlaku hukum-hukum syari'at, jika dia baligh dan berakal sebab akal adalah barometer hukum taklif.
Maka dia wajib serta sah sholatnya, sah pula menjadi imam sholat, sebab dia tidak murtad. Dia boleh masuk masjid dan bergaul dengan orang-orang, dia tidak menajiskan orang lain meski menyentuhnya dalam keadaan basah, tidak pula menajiskan air sedikit dan benda cair. Dia tercegah dari menjadi wali, seperti wali nikah dan hakim seperti budak murni, bahkan lebih utama dalam menyandang semua itu.
Pernikahan (menikahkannya) dan sesembelihannya tidaklah halal. Menurut pendapat mu'tamad: tidak ada warisan antara dia dan Manusia asli. Sebagian ulama berpendapat bahwa dia bisa menerima warisan dari Ibu dan anak-anaknya, bukan dari bapaknya. (Contoh: Mukidah mengandung anak dari Babi, lalu lahir anak setengah Manusia setengah babi, maka si anak tersebut dapat menerima warisan. Jika semisal Mukidi mengawini babi lalu lahir anak setengah babi setengah Manusia, maka si anak tidak dapat memperoleh warisan)
Tidak ada qisos bagi orang yang membunuhnya. Dia dihukumi najis dalam pernikahan sebab salah satu dari kedua orang tuanya ada gen yang tidak halal baik Ibu atau Bapaknya, meski dinikahkan dengan orang yang sejenis dengannya meski agamanya sama.
Begitu pula menurut pendapat mu'tamad juga tidak halal mengambil gundik, sebab syarat halalnya mengambil gundik adalah halal menikah. Namun Ibnu Hajar membolehkan dia mengambil gundik sekiranya khawatir zina, dan hukum dalam hal ini adalah najis yang dima'fu. Adapun pendapat yang bisa dijadikan pegangan adalah pendapat Imam Ar-romli tadi.
Adapun apabila dia berwujud anjing dan dia berakal juga bisa berbicara, maka dia dihukumi najis menurut pendapat mu'tamad. Dia dihukumi najis mugholadzoh dalam hukum-hukum lain, demikian pula anak dari anak tersebut, sebab dia adalah peranakan bil wasithoh.
Imam Ibnu Qosim berkata, “Peranakan (yang memiliki bentuk seperti anjing tersebut) tidak menerima taklif (tuntutan hukum syariat) meskipun ia dapat berbicara, mengalami tamyiz, dan telah
mencapai usia baligh yang seperti balighnya manusia normal. Sama seperti peranakan tersebut, artinya sama-sama tidak menerima taklif, adalah peranakan dengan bentuk manusia yang terlahir dari hubungan antara dua mugholadzoh (seperti; anjing dan anjing, atau babi dan babi, atau anjing dan babi), karena bentuk (seperti manusia)
Imam al-Qulyubi berkata, “Ketika peranakan (dengan bentuk manusia yang terlahir dari dua mugholadzoh) dapat berbicara dan memahami Khotib, maka menurut aturan qiyas ia menerima taklif karena dasar penetapan taklif adalah memiliki akal.”
Adapun bangkainya dihukumi najis karena dilihat dari sisi dua indukannya.
Adapun hewan peranakan yang terlahir dari hubungan antara mugholadzoh dan hewan lain selain manusia (seperti anjing dan kambing, babi dan sapi) maka ia dihukumi najis ma’fu berdasarkan kesepakatan ulama.
Sedangkan apabila hasil dari Manusia dan Manusia, maka dihukumi suci, berdasarkan kesepakatan ulama meski berwujud anjing
Apabila anak Manusia dengan Manusia yang berwujud anjing tersebut bisa berbicara dan berakal, maka sebagian ulama berpendapat bahwa dia terbebani hukum syari'at, sebab barometer taklif syari'at adalah akal, sedangkan akal itu terdapat pada diri anak tersebut
Demikian pula terkenai beban hukum syariat, anak yang lahir dari hubungan antara kambing dan kambing dan dia berwujud Manusia, apabila dia bisa berbicara dan berakal. Dia boleh disembelih dan dimakan, meski pun dia menjadi seorang khotib dalam imam dalam sholat ied. Karena inilah dikatakan, "Kami ulama Syafi'iyah punyai seorang khotib yang boleh disembelih dan dimakan."
Wallohu a'lamu Bishhowab.
0 Response to "Hukum Anak Silang Manusia dengan Hewan"
Post a Comment