Periode Keemasan Tarikh Tasyri’ (Dinasti Abassiah 750-1258 M.)
Nama : Vina Rezqi Ningrum
NIM : 20101834
Kelas : 2PAIB
Makul : Pengantar Studi Islam
Judul Esai : Periode Keemasan Tarikh Tasyri’ (Dinasti Abassiah 750-1258 M.)
Pengantar
Periode ini dimulai bertepatan dengan runtuhnya pemerintahan daulah Umayyah skitar abad ke-2 H, tampuk pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiah. Peralihan kekuasan pada era ini memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan khulafa Bani Umayyah yang "memasung" kebebasan fuqaha dalam berijtihad terutama yang bersentuhan dengan kebijakan khulafa, khulafa Bani Abbas justru mendekati dan memberikan posisi terhormat kepada fuqaha, yang pada dekade selanjutnya parsejarah mencatat bahwa pada periode ini ijtihad sahabat dan tabi’in tidak
sekedar berputar di sekitar masalah penetapan hukum dan fatwa, tapi sudah merambah pada kajian metodologis dan perumusan berbagai altematif bagi pengembangan hukum fuqaha menghantarkan prosesi tasyri’ menuju puncak kejayaannya.
Minimal ada tiga tahapan signifikan yang menandai kecermelangan proses tasyri’ pada periode ini; pertama refleksi atas perkembangan sosiai yang menghantarkan prosesi tasyri menuju era keemasan, kedua masa kodifikasi/ tadwin, ketiga lahir dan melembaganya madzhab-madzhab.
Refleksi Perkembangan Sosial sebagai Faktor Penghantar Proses Tasyri' menuju Era Keemasan
Sejarah mencatat bahwa pada periode ini ijtihad sahabat dan tabiin tidak sekedar berputar di sekitar masalah penetapan hukum dan fatwa, tapi sudah merambah pada kajian metodologis dan perumusan berbagai altematif bagi pengembangan hukum. Para imam madzhab- Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syai'i, dan Imam Ahmad bin Hambal masingmasing menawarkan karakteristik, metodologi dan kaidah-kaidah berijtid tersendiri yang menjadi pijakan dan landasan penetapan hukum. Lahirnya madzhab-madzhab ternyata sangat dipengaruhi faktor sosial budaya, politik dan kecenderungan masing-masing imam madzhab yang membentuk karakteristik, teori dan formulasi yang berbeda-beda, meskipun sama-sama merujuk pada dua sumber transendental; yakni al-qur'an dan sunnah.
![]() |
| Sumber gambar: Tempo-timur.blogspot.com |
Selain perhatian khulafa Bani Abbas terhadap perkembangan keilmuan yang begitu besar, ada beberapa faktor yang turut andil dalam menghantarkan proses tasyri menuju puncak keemasannya, diantaranya adalah;
Pertama, berkembangnya kajian-kajian ilmiah, tepatnya pada masa khalifah almansur, mulai berkembang kajian-kajian filsafat, kedokteran, kimia, dan budaya. Perkembangan ini diiringi dengan penerjemahan buku-buku Yunani dan Romawi. Namun, satu hal yang perlu kita garis bawahi bahwa maraknya kegiatan penerjemehan tersebut bukan berarti transformasi ilmu dan kebudayaan secara besar-besaran dari Yunani dan Romawi, tetapi lebih pada pengubahan tata cara berfikir masyarakat muslim yang simplistis diviativ menuju cara berfikir yang filosofis, analitis dan kritis.
Pengaruh tersebut tidak saja kita rasakan dalam ilmu teologi tapi juga pada prosesi tasyri' yang mengedepankan argumentasi logis-filosofis. Pada zaman 'Umayyah, banyak mawali (orang-orang asing selain arab) yang masuk Islam karena pembukaan Romawi dan Persia. Orang-orang Romawi dan Yunani yang notabenenya memiliki kebudayaan dan peradaban tinggi yang setelah bercampur dengan orang-orang arab dan mempelajari Islam, terpadulah dalam diri mereka kedalaman ilmu agama dan ketajaman analisa guna membedah dan menangkap sinyal-sinyal hikmah yang terkandung di balik tekstualitas nash.
Kedua, berkembangnya kebebasan berpendapat. Perhatian yang besar khalifah Bani Abbas terhadap ulama dan disiplin keahlian masing-masing tercermin dalam stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian berijtihad. Pemerintah daulah Abbasiyah misalnya, tidak ikut campur dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berfikir dan berpendapat dan tidak pula membatasim tertentu yang mengikat para hakim atau mufti. Mereka bebas menentukan, menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan sumber, metode dan kaidah yang mereka yakini memiliki tingkat kevalidan tinggi.
Dari kebebasan berpendapat dan seringnya dialog, diskusi dan munadharah ilmiah yang merupakan faktor penting bagi perkembangan tasyri, perumusan metodologi, dan kaidah-kaidah ijtihad, studi komparasi antar berbagai pendapat yang berbeda untuk mengetahui pendapat terkuat dan tervalid. Dalam menawarkan ide dan gagasannya, para mujtahid menyertai dengan argumentasi dan dalil-dalil syar'i serta kemaslahatan yang menjadi tujuan moral hukum. Kegiatan ini sebenarnya juga telah ada sejak zaman sahabat dan tabi'in terutama ulama Irak dan Hijaz, tetapi ruang ikhtilafya tidak selebar periode ini,sedangkan pada periode ini sudah merambah pada persoalan substansial dan metodologis.
Tidak heran jika periode ini dikatakan sebagai periode prospektif yang membuka ruang gerak dinamis sehingga melahirkan karya-karya besar seperti al-Um yang dinobatkan sebagai magnum Opus al-Syafi'i.
Masa Kodifikasi/Tadwin
Faktor lain yang yang mempengaruhi fiqih pada periode ini adalah gerakan kodifikasi ilmu. Kodifikasi juga menjadi promotor vital bagi keberlangsungan dialog menuju kritik yang lebih konstruktif dan terarah. Kodifikasi tidak terbatas pada persoalan hukum tapi juga merambah pada persoalan teologi bahkan politik.
Penulisan hadist dan tafsir juga semakin semarak, hadist shahih bukhari muslim, sunan-sunan, musnad-musnad terkodifikasi dengan sistematik pada periode ini.
1. Kodifikasi Hadist
Kodifikasi hadist berbeda dengan kodifikasi al-Qur'an yang sudah ditulis sejak zaman Nabi dan telah dikumpulkan dalam satu mushaf pada zaman Abu Bakar serta telah diterbitkan bacaannya pada zaman Ustman bin Affan, sedangkan hadist Nabi lebih banyak dihafal daripada ditulis. Belum pernah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan penulisan hadist sebagaimana penulisan al-Qur'an, bahkan dalam sebuah riwayat yang shahih nabi melarang penulisan hadist. Larangan penulisan hadist ini menurut sebagian ulama tidak ditujukan kepada semua sahabat, tetapi khusus pada sahabat penulis alQur'an karena dikhawatirkan percampuran keduanya. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa larangan itü terjadi pada masa-masa awal turunnya wahyu atau sebelum para sahabat dapat membedakan antara al-Qur'an dan hadist.
Sampai pada masa khulaur rasyidin, hadist juga belum ditulis secara khusus, bukan karena khawatir tercampur dengan ayat-ayat al-qur'an tapi khawatir akan terjadi kebohongan atau pemalsuan hadis dan berpalingnya para sahabat dari al-Qur'an kepada hadist.
Baru pada masa pemerintahan khalifah Umar bin abdul aziz (khalifah kedelapan bani Umayyah) muncul desakan-desakan penulisan hadist. Khalifah memanggil Abu Bakhar bin Muhammad bin Hazm selaku gubernur Madinah yangt sebagai ahli hadist untuk merintis penulisan hadist. Ketika kodifikasi hadist hampir dikatakan usai, para ulama hadist mulai merancang kualifikasi-kualifikasi khusus dalam periwayatan dan penerimaan hadist yang pada dekade selanjutnya terumuskan dalam buku al-Jarh wa Ta'dil. Dalam buku ini dijelaskan kualifikasi seseorang yang diterima periwayatannya, Ialu ditetapkan tingkat kesahihan sanadnya.
2. Kodifikasi Tafsir
Sejarah kodifikasi tafsir hampir sama dengan kodifikasi hadist, hanya saja penulis belum menemukan sumber pustaka yang bisa dijadikan rujukan dalam mengklasifikasikan tahapannya. Pada akhir periode tabi'in beberapa ulama mulai mengumpulkan tafsir-tafsir Nabi dan sahabat dan memisahkannya dari hadist dan mengkodifikasikannya secara tersendiri yang pada akhimya menjadi embrio disiplin ilmu tafsir. Diantara ulama perintis penulisan tafsir pada periode ini adalah Sufyan bin Uyainah, Waki' bin Jarah, dan Ishaq bin Rawaih.
Pada periode inilah kodifikasi tafsir dilakukan secara sistematis menurut kronologi surat dan ayat. Diantara kitab tafsir yang lahir pada periode ini adalah tafsir Ibnu Juraih, tafsir Muhammad bin Ishaq, tafsir Ibnu Jarir al-Tabhari. Perkembangan lebih lanjut dari kodifikasi tafsir pada periode terakhir mengarah pada penulisan dan pengkajian tafsir secara tematik; salah satu contohnya adalah tafsir ayat ahkam.
3. Kodifikasi Fiqih
Fiqih yang notabenenya menjadi pengejawentahan syariah, sebenarnya telah tumbuh pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah, ketika para ulama mulai gencar menuliskan fatwa-fatwa syaikh mereka khawatir akan hilang atau terlupakan. Sejak saat itu inisatif penulisan hukum-hukum syar'i terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai mengkodifikasi fatwa-fatwa Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Begitu juga di Irak; Muhammad Ibrahim al-Nakha'i dan Muhammad bin Hassan mulai mengumpulkan fatwafatwa abdullah bin Mas'ud, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Pada era Bania bbasiyah-lah muncul era baru dalam kodifikasi fiqih, dimana para fuqaha mulai menulis sendiri pendapat dan fatwa-fatwanya kemudian mengajarkannya pada murid-muridnya.
4. Kodifikasi Ushul Fiqih
Sebenarnya, kaidah-kaidah ushul fiqih telah lahir bersamaan dengan munculnya embrio berijtihad, karena ushul fiqih merupakan kaidah dasar, karena ushul fiqih merupakan kaidah dasar dalam ijtihad. Terjadi perdebatan di kalangan sejarahwan, siapa sebenarnya yang pertama kali menggagas ushul fiqih, kendati mereka sepakat bahwa penulis pertama yang merumuskan ushul fiqih secara sistematis adalah al-Syafi'i dalam karya agung arRiisalah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (murid hanafi) telah merumuskan terlebih dahulu ushul fiqih yang menjadi kaidah dan dasar ijtihad madzhab hanafi, namun hasil karyanya tidak kita temukan sampai saat ini.
Lahir dan Melembaganya Madzhab-Madzab
Dari potret global sejarah di atas dapat disimpulkan bahawa lahir dan melembaganya madzhab-madzhab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari prosesi tasyri'. Analisa menarik bisa diketengahkan adalah bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana tuduhan orientalis selama ini, tetapi melainkan karna keberlanjutan dari prosesi tasyri’ sejak zaman Nabi, sahabat dan tabi 'in.
Fenomena perkembangan fiqih pada periode ini juga didukung penuh oleh semaraknya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapat, menjamurnya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu dapat dilacak pada periode sebelumnya. Kekayaan tsarwah fiqhiyyah bisa kita contohkan untuk memperkuat hipotesa ini, melalui proses periwayatan para sahabat bisa menyampaikan berbagai informasi ajaran islam kepada murid-muridnya dan selanjutnya sampai pada para tabi' in. Abdullah bin Umar misalnya, memiliki murid Saad bin Musayyab, Nafi, Salim yang selanjutnya mereka akan bertemu langsung dan menyampaikan misi dan ajaran-ajaran islam pada tabi'in.
Pertanyaan yang tersisa adalah kenapa lahir dan melembaganya madzhab-madzhab tidak terjadi pada zaman sahabat? Minimal ada dua hasil analisa dalam menjawab pertanyaan ini; pertama, belum adanya gerakan kodifikasi ilmu khususnya fiqih, karena ketiadaan kodifikasi maka pendapat para sahabat tidak bisa dipelajari secara komperhensif sehingga pewarisan fiqih sebatas pada periwayatan.
Kedua, tidak adanya pengikut/murid yang secara khusus menyebarkan pendapat-pendapat para sahabat dan tabi'in yang notabenenya mereka adalah pewaris terdekat 'asr al-tasyri' (turunnya wahyu) sehingga mereka mengkonsentrasikan diri untuk menjawab berbagai persoalan hükum yang timbul saat itu.
![]() |
| Sumber gambar: Mahadaly-nuruljadid.com |
Akhir Kata
Khulafa Bani Abbas memberikan posisi terhormat kepada fuqaha, yang pada dekade selanjutnya parsejarah mencatat bahwa pada periode ini ijtihad sahabat dan tabi’in tidak sekedar berputar di sekitar masalah penetapan hukum dan fatwa, tapi sudah merambah pada kajian metodologis dan perumusan berbagai altematif bagi pengembangan hukum fuqaha menghantarkan prosesi tasyri’ menuju puncak kejayaannya.Terdapat tiga tahapan signifikan yang menandai kecermelangan proses tasyri’ pada periode ini; pertama refleksi atas perkembangan sosiai yang menghantarkan prosesi tasyri’ menuju era keemasan, kedua masa kodifikasi/ tadwin, ketiga lahir dan melembaganya madzhab-madzhab.
Daftar Pustaka
Nawawie, A. Hasyim. Tarikh Tasyri. Surabaya: Jengalla Pustaka Utama. Cetakan Pertama: 2014.


0 Response to "Periode Keemasan Tarikh Tasyri’ (Dinasti Abassiah 750-1258 M.)"
Post a Comment