Sejarah Teologi Islam: Ahl Sunnah Wa al-Jama'ah Yang Selamat
Nama : Vina Rezqi Ningrum
NIM : 20101834
Kelas : 2PAIB
Makul : Pengantar Studi Islam
Judul Esai : Sejarah Teologi Islam: Ahl Sunnah wa al-Jama’ah yang selamat?
Pengantar
Teologi membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat sehingga tidak akan mudah digoyahkan oleh perkembangan zaman. Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid’. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan.
Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam adalah kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm al-kalam’, karena soal kalam, sabda Tuhan atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiyayaan dan pembunuhan terhadap sesama muslim di waktu itu. Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm al-kalam’, karena teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallim yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis. Lalu, ilmu tauhid biasanya hanya memberi pembahasan sepihak dan tidak dikemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Dan ilmu tauhid yang diajarkan dan dikenal di Indonesia pada umumnya adalah ilmu tauhid menurut aliran Asy’ariyah. Hal ini sempat menimbulkan kesan di kalangan umat Islam di Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.
Padahal dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional. Kedua corak teologi ini tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian orang bebas memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya dan tidak menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam.
Perkembangan Sejarah Islam
Apabila kita telisik kembali sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Memang kedua persoalan ini sangat sulit mengartikan korelasinya apabila kita berbicara perihal agama, namun semua ini bermula dari perseteruan politik yang mengerucut menjadi persoalan teologi. Oleh karena itu perlu kita kembali sejenak ke dalam sejarah Islam agar titik persoalan dapat kita pahami.
Ketika Rasulullah mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Di pertengahan kedua dari abad keenam Masehi, jalur perdagangan Timur-Barat berpindah ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah jalur perdagangan tersebut menjadi kota transit dagang dan sangat diuntungkan. Kekuasaan pada saat itu dipegang oleh kaum Quraisy dan para pedagang tinggi yang memiliki kekayaan serta pengaruh dalam masyarakat. Kaum pedagang tinggi ini dalam menjaga kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kemudian melawan ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sehingga beliau dan pengikut-pengikutnya terpaksa pindah ke Yatsrib (Madinah) di tahun 622 M. Sebagaimana diketahui Rasulullah bukanlah dari golongan yang kaya meskipun berasal dari suku Quraisy namun beliau berada dalam keadaan ekonomi yang sederhana sekali, sehingga di masa kecil beliau bekerja membantu pamannya sebagai gembala domba.
Suasana masyarakat Yastrib berlainan dengan Mekkah. Kota ini bukanlah kota dagang namun terdiri dari masyarakat yang heterogen yaitu bangsa Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa arab terdiri dari dua suku yang pada saat itu saling bersaing, sehingga di perlukan suatu hakam, yaitu pengantara yang netral. Kemudian, pemuka-pemuka suku bangsa ini datang ke Mekkah untuk mencari jalan keluar dari persoalan tersebut. Di perjalanan mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Rasulullah dan meminta supaya beliau pindah ke Yastrib untuk menjadi hakam. Persoalan ini menjadi suatu tambahan alasan sehingga Rasulullah hijrah ke Madinah, selain desakan dari para penguasa di Mekkah. Lambat laun dari posisi pengantara, Rasulullah juga menjadi kepala masyarakat Madinah, kecuali penduduk Yahudinya yang tetap tidak mau masuk Islam. Beliau juga yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini.
Ketika beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah sudah meliputi seluruh Semenanjung Arabia, jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir tersebut. Timbullah soal Khiafah,soal pengganti Rasullulah sebagai kepala negara. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar yang disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman Ibn ‘Affan. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir.
Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat. Tetapi ia segera mendapat tantangan dari Mu’awiyah yang menunut kepada ‘ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh ‘Usman bahkan menuduh ‘ali turut campur dalam pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi anatara kedua gologan ini di Siffin, tentara ‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah. Tetapi tanagan kanan Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-‘As yang terkenal licik menggunakan tipu muslihatnya dan menjebak pihak dari ‘Ali untuk mengadakan arbitrase, meskipun dari pihak tentara nya tidak menyetujui keputusan tersebut. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh aribtrase manusia, karena putusan yang sah hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Mereka memandang ‘Ali’ Ibn Abi talib telah berbuat salah dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya, dalam sejarah Islam golongan ini terkenal dengan nama kaum Khawarij. ‘Ali mendapat serangan dari dua pihak hingga ia wafat sehingga Mu’awiyah dengan mudah memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi Dalam Islam
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam artian keluar dari Islam dan halal untuk dibunuh. Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir mengalami perubahan yaitu tidak hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran ideologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam (murtad) dan wajid untuk dibunuh. Aliran kedua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masilah mukmin dan bukan kafir. Perihal dosanya hanya Allah yang berhak untuk untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga menolak pendapat kedau aliran sebelumnya. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar bukalah mukmin maupun kafir, namun diantara keduanya yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain (posisi di antara dua posisi).
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab semakin terpengaruh oleh rasio atau akal yang menjadi kedudukan tertinggi. Meskipun kaum Mu’tazilah banyak menggunakan akal dalam berfikir, namun mereka tidak meninggalkan wahyu. Pemikiran-pemikiran mereka tetap terikat dengan wahyu yang ada dalam Islam. Sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berpikir, kaum Mu’tazilah mengambil paham jabariyah bukan qodariyah. Teologi mereka. Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal menarik perhatian kaum intelektual di zaman pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah di permulaan abad ke -9 Masehi. Bahkan saat itu teologi Mu’tazilah dijadikan madzhab yang resmi dianut negara. Setelah mendapat dukungan dari pemerintah, kaum Mu’tazilah mulai menyebarkan ajaran-ajarannya dengan paksa, terutama paham mereka bahwa al-Qur’an itu bersifat makhluq dalam arti diciptakan, bukan qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Lahirnya Ahl Sunnah wa al-Jama'ah
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama para pengikut mazhab Ibn Hambal. Kekerasan yang dilakukan oleh aliran Mu’tazilah dalam menyiarkan ajarannya mendapat banya perlawanan, puncaknya aliran Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dari negara dibatalkan oleh Khalifah al-Mutawakkil (856 M). Perlawanan ini membentuk suatu aliran teologi tradisonal yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Beliau seorang Mu’tazilah namun setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran Mu’tazilah dicap oleh Rasulullah sebagai ajaran yang sesat, beliau meninggalkan ajaran tersebut kemudian membentuk ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah.
Di samping aliran As’ariyah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang juga menolak Mu’tazilah. Aliran tersebut didirikan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi al-Maturidiah, meskipun tidaklah bersifat setradisonal aliran al-Asy’ariyah, akan tetapi tidak seliberal aliran Mu’tazilah.
Akhir Kata
Aliran-aliran teologi yang muncul diakibatkan persoalan-persolan politik selepas wafatnya Rasulullah. Aliran-aliran tersebut diantaranya Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah. Asy’ariyah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak berwujud lagi kecuali dalam sejarah. Sedangan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah keduanya masih bertahan sampai sekarang serta biasa disebut dengan Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariyah pada umumnya dipakai umat Islam Sunni lainnya.
![]() |
Rembukan.com |
Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Cetakan 2013.
0 Response to "Sejarah Teologi Islam: Ahl Sunnah Wa al-Jama'ah Yang Selamat"
Post a Comment