Hukum Meng-gaduh Hewan.

Hukum Gaduh.



Gaduh adalah sistem bagi hasil dalam usaha pertanian atau peternakan. Biasanya separuh atau sepertiga dari hasil untuk penggaduh(orang yang mengelola).


Sumber foto:DetikNews.detik.com


Masyarakat Jawa sepertinya sudah tidak asing lagi dengan transaksi gaduh ini, di  mana mereka yang tak punyai modal untuk membeli hewan ternak akan memelihara ternak orang lain secara mutlak dengan upah yang masih belum jelas nominalnya.


Dalam gaduh, pihak penggaduh bisa saja diuntungkan dan bisa juga dirugikan. Contoh yang diuntungkan, sebagaimana yang menjadi tujuan awal, yaitu, umpamanya Mang Thomas  menggaduh kambing milik Mang Abraham dengan kesepakatan jika kambingnya 2 kali melahirkan maka anak kambing yang pertama menjadi milik Mang Thomas dan anak kambing yang kedua menjadi milik  Mang Abraham, jika kambing jantan, maka laba dari hasil penjualan akan dibagi dua dengan Mang Thomas. Dan lain sebagainya.



Atau bisa saja merugikan. Seperti contoh Mang Thomas menggaduh kambing jantan milik Mang Abraham. Namun, setelah sekian tahun kambing tersebut tidak bertambah besar, justru malah masih seperti semula(kuntet:jawa). Alhasil Mang Thomas tidak mendapat apapun selain rugi rumput dan pemeliharaan.



Sistem gaduh seakan sudah mengakar di Masyarakat Jawa, khususnya di daerah saya. Namun, pertanyaannya bagaimanakah sudut pandang fiqih dalam menghukumi transaksi gaduh? Sah kah? Atau tidak sah?



Menurut madzhab Syafii transaksi gaduh adalah ilegal, tidak sah atau fasid, sebab upahnya masih bersifat majhul atau spekulatif.



Ibaroh-nya;




وَلَوْ قَالَ شَخْصٌ لِآخَرَ: سَمِّنْ هَذِهِ الشَّاةَ مَثَلًا وَلَك نِصْفُهَا أَوْ هَاتَيْنِ عَلَى أَنَّ لَك إحْدَاهُمَا لَمْ يَصِحَّ ذَلِكَ وَاسْتَحَقَّ أُجْرَةَ الْمِثْلِ لِلنِّصْفِ الَّذِي سَمَّنَهُ لِلْمَالِكِ، وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مِمَّا عَمَّتْ بِهَا الْبَلْوَى فِي قُرَى مَصْرَ فِي الْفَرَارِيجِ يَدْفَعُ كَاشِفُ النَّاحِيَةِ أَوْ مُلْتَزِمُ الْبَلَدِ إلَى بَعْضِ الْبُيُوتِ الْمِائَةَ أَوْ الْأَكْثَرَ أَوْ الْأَقَلَّ وَيَقُولُ: رَبُّوهَا وَلَكُمْ نِصْفُهَا فَيَجِبُ عَلَى وَلِيِّ الْأَمْرِ وَمَنْ لَهُ قُدْرَةٌ عَلَى مَنْعِ ذَلِكَ أَنْ يَمْنَعَ مَنْ يَفْعَلُ هَذَا فَإِنَّ فِيهِ ضَرَرًا عَظِيمًا.



"Umpamanya, apabila sesorang berkata kepada orang lain(mitra gaduh):Gemukkanlah kambing ini, dan kamu mendapat setengahnya atau(dia berkata: gemukkanlah) dua kambing ini, maka bagimu salah satunya, maka(transaksi seperti ini) tidaklah sah. Di mana mitra gaduh berhak mendapat bayaran upah (sebesar upah pada umumnya di daerah setempat) dari setengah kambing yang digemukkan tadi.


Permasalahan ini adalah salah satu musibah yang sudah lumrah terjadi di desa-desa di Mesir (tepatnya terjadi pada kasus )ayam. Di mana pemuka atau pemegang daerah tersebut  memberikan pada sebagian rumah-rumah kurang lebih 100 ekor ayam dan berkata: rawatlah ini dan bagi kalian setengahnya. Maka wajib bagi pemerintah setempat atau orang yang punyai kuasa untuk mencegahnya, untuk menghentikan orang yang melakukan praktik ini, karena dalam praktik ini terdapat mahdlorot yang besar."


[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٢٣٠/٣]



Lalu bagaimana mensikapi transaksi yang sudah menjamur di masyarakat, apakah harus divonis haram secara mutlak atau bagaimana? 



Tentunya sebagai orang yang bijak, kita tidak boleh langsung menvonis haram secara mutlak. Masih ada pendapat lain meski lintas madzhab yang bisa melonggarkan jerat masyakat. Selagi ada yang membolehkan, maka terpaksa memakai pendapat tersebut dikarenakan susahnya untuk menghindari.



Adapun pendapat yang membolehkan di antaranya adalah kalangan Hababilah  dalam kitab "Al-mughni fi fiqhi imam bin Hanbal As-syaibani juz 4 hal 115.:


فصل وان دفع رجل دابته إلى ٱخر ليعمل عليها وما يرزق الله بيهما نصفين أو أثلاثا او كيفما شرطا صح.


"Fashl, apabila seorang laki-laki memberikan hewannya pada orang lain agar dikelola, dan apa yang Allah anugrahkan di antara mereka adalah setengah-setengah atau pertiga atau syarat apa saja. Maka itu sah. "



(المغني في فقه الإمام أحمد بن حنبل الشيباني الجز الرابع صح ١١٥)



والله أعلم بالصواب

0 Response to "Hukum Meng-gaduh Hewan."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel